Safari keluarga di hutan politik indonesia
oleh Annisa Eka Kurniawati, 1006701226
Judul : “Politik Dinasti Menghambat Pelembagaan Partai”
Pengarang : Prof. Syamsuddin Haris, Msi. APU
Data Publikasi : http://www.lipi.go.id
Fenomena politik dinasti —atau yang biasa disebut sebagai politik keluarga— telah banyak “bermain peran” dalam ranah politik di Indonesia. Tak jarang, masyarakat dapat melihat banyaknya calon legislatif yang terdiri dari satu dinasti (ayah, ibu, anak, kakek, nenek), seakan mudah untuk mendapatkan “tiket gratis” bersafari di hutan politik Indonesia dalam naungan partai yang sama. Fenomena yang tergolong praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) ini dapat menyebabkan degradasi bagi keproduktifan politik ke depan yang semakin memprihatinkan.
Menurut Prof. Syamsuddin, apabila masyarakat menjadi terbiasa memaklumi politik nepotisme, maka proses pembentukan sistem politik bangsa Indonesia akan terhambat akibat persaingan yang tidak sehat, dan akan cenderung subjektif dalam memilih perwakilan rakyat. Peralihan era orde baru ke era reformasi pun dirasakan tidak banyak berkontribusi dalam membasmi politik keluarga ini, dan malah semakin menjamur terutama dalam pemilihan calon legislatif di daerah-daerah.
Namun, para elit politik tidak dapat disalahkan sepenuhnya atas fenomena tersebut. Masyarakat Indonesia yang masih terbelenggu oleh kecenderungan feodalistik yang gemar menempatkan serta mengistimewakan keluarga-keluarga tertentu dalam pentas politik, juga turut menyuburkan praktik seperti ini. Politik nepotisme terjadi bukan hanya karena faktor biologis keluarga saja, tetapi juga dapat disebabkan oleh penarikan kader calon legislatif suatu partai politik yang didasari adanya kesamaan golongan, baik dari segi agama, ideologi, suku, ras tertentu yang muncul di tengah masyarakat multikulturalisme. Hal ini akan semakin membuka lebar pintu masuk budaya nepotisme dalam pengaderan calon legislatif.
Dari permasalahan di atas dapat